HARGA TERIMA KASIH
Waktu itu usiaku 12 tahun, ayah ibuku sering mengajak aku dan adik jalan-jalan naik mobil pada hari sabtu. Kadang-kadang kami pergi ke taman, atau ke toko buku.
Dalam setiap perjalanan pulang dari acara jalan-jalan atau sepulang mereka ke rumah dari aktivitas di kantor, Ayah ibuku sering mampir ke Grasera (swalayan sekitar matraman), memebeli es krim. Tidak selalu; tapi cukup sering. Aku tak bisa terlalu mengharapkannya, tapi aku bisa berharap dan berdoa sejak kami mulai berjalan pulang, atau jam dimana orang tuaku tiba di rumah.
Beberapa kali Ayah Ibu menggodaku dengan mengambil jalan pulang yang panjang. “kita lewat sini saja supaya tidak bosan”. Atau sengaja tidak meberiku langsung es krim tersebut, tetapi di taruh di dilam lemari es. Sebagai kejutan kecil jika aku dan adikku belajar dan tidak main sampai sore hari.
Pada hari-hari yang paling menyenangkan, ia bertanya dengan nada yang membuatnya terdengar tak lazim dan spontan, “kamu mau es krim?” dan aku berkata, “mau!”. Aku dan adikku selalu rasa coklat, ibuku rasa durian, ayahku rasa vanila. Mereka memberiku 20ribu rupiah, aku dan adikku berlari masuk toko, membeli yang biasa kami beli. Kami makan di mobil, aku mencintai orang tua ku dan menyukai es krim, jadi itulah surga bagiku.
Pada suatu hari yang sangat penting itu, kami dalam perjalan pulang, dan aku berharap dan berdoa agar bisa mendengar tawarannya yang dikatakan dengan suaranya yang merdu. Tawarannya pun tiba. “kalian mau es krim hari ini ?”.
“mau, BU!”
Tapi kemudian ia berkata, “Aku juga mau. Bagaimana kalau kamu yang mentraktir Ayah dan Ibu hari ini?”
20 ribu rupiah! 20 ribu rupiah! Aku dan adikku termenung. Aku bisa mentraktirnya. Uang jajanku saja seminggu tidak lebih dari 5ribu rupiah, plus uang tambahan untuk pekerjaan sambilan. Tapi menabung itu penting. Ayah Ibuku yang bilang. Dan kalau yang dipakai uangku, es krim itu hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Mengapa waktu itu tak terpikirkan olehku bahwa ini adalah kesempatan emas untuk membalas kemurahan hatinya? Mengapa tak terpikirkan olehku bahwa ia sudah membelikanku 50 es krim, dan aku tak pernah membelikannya satu pun? Tapi yang terpikir olehku hanyalah “20ribu rupiah!”
Dengan memendam perasaan egois, pelit, dan aku tak tahu terima kasih, aku mengucapkan kata-kata buruk yang terus terngiang di telingaku sampai hari ini, “kalau begitu, tidak jadi.”
Ayah dan ibu ku hanya berkata, “iya nanti kata mampir ke Grasera.”
Tapi, saat kami berbelok menuju rumah, aku menyadari betapa salahnya aku dan memohonnya kembali. “Aku yang bayar,” rengekku.
Tapi ia hanya berkata “nggak usah, kita nggak perlu es krim kok,” dan tak mendengar rengekkanku. Kami pun pulang.
Aku merasa tak enak karena sikap egoisku dan takk tahu terima kasih. Ia tidak menyebut-nyebut hal itu lagi, dan juga tak kelihatan kecewa. Tapi justru sikap diamnya itulah yang meninggalkan kesan begitu dalam di hatiku.
Aku belajar bahwa kemurahan hati itu adalah jalan dua arah, dan rasa terima kasih kadang-kadang harganya lebih dari “terima kasih”.
Dan sekarang, saat aku sudah bisa memiliki reziki sendiri, disaat kami jalan-jalan di suatu plaza di semanggi, aku mendatangi kedai es krim. Dan aku berkata, “Ibu-Ayah mau es krim??, sekarang aku yang traktir.”
I love you Ayah, Ibu, Aji....
Sumber : Chicken soup for the teenege soul, & pengalaman pribadi....hehehe..
0 komentar:
Posting Komentar