Jumat, 04 November 2011 | By: yulia fitriani

Harapan tak seperti Nama Pantai...

oleh Viant Edgar pada 21 September 2011 jam 21:42

3.00-6.25 PETANG
             Hujan rintik-rintik sepanjang perjalanan menuju Kuala Lumpur membuat aku kurang selera. Titik –titik hujan memenuhi segenap cermin bus. Seakan-akan membentuk titik-titik kecil yang cantik. Aku semakin kedinginan di dalam bus. Mungkin karena cuaca di luar  yang semakin dingin ditambah dengan AC yang sengaja dinyalakan dengan kuat menyebabkan aku menjadi kaku. Perjalanan yang memakan waktu selama 3jam ini benar-benar membuatku letih. Untungnya, aku membawa laptop kegemaranku. Aku isi waktu senggangku dengan bermain laptop. Penumpang tidak begitu ramai. Kebanyakan penumpang lelap. Mungkin terlena karena kedinginan oleh cuaca di luar. Ataupun kedinginan karena AC.

             Tak terasa bus telah sampai di terminal. Aku langsung bergerak menyusuri penumpang-penumpang lain untuk keluar. Hujan masih belum reda. Aku bergegas meninggalkan Terminal menuju ke MacDonalds yang terletak kira-kira 100 meter dari terminal. Aku mempercepatkan langkah. Pakaianku pun semua basah kuyup. Pelanggan tidak begitu ramai ketika aku sampai. Mungkin hujan yang melanda Kuala Lumpur menyebabkan para penghuninya kurang berminat untuk keluar melakukan aktivitas rutin. Mungkin senang duduk di rumah menonton TV.

6.00-7.00 PETANG
            Aku memperhatikan kesibukan kota dari dalam. Hari semakin petang. Lampu-lampu neon mulai gemerlap di sekitar kota raya. Kuala Lumpur mulai bermandikan cahaya. Jam milai menunjukkan 6.45 petang. Pelanggan mulai memenuhi segenap ruangan restaurant. Aku masih lagi menantikan kehadiran seseorang. Seseorang yang pernah mewarnai hati ini. Seseorang yang pernah menjadi teman dalam mimpi ku. Karena dia, aku ke kota metropolis ini. Aku mulai gentar. Jantung mulai berdegup kencang. Bimbang mungkin. Bagaimana pandangannya terhadap ku nanti? Dan kepalaku bingung memikirkan persoalan dan tanggapan yang bakal timbul  dalam pertemuan kali ini. Adakah dia seperti dulu? Sama seperti yang aku kenali dari segi feel dan sikapnya. Aku membiarkan segala persoalan dan tanggapan yang buruk-buruk itu berlalu pergi. Pergi bersama angin senja yang kian menghambat waktu.

            Penantian yang bisa dikata menegangkan. Aku coba untuk bersabar semampu yang mungkin ku lakukan. Hati mulai dipaut rasa resah. Mungkinkah pertemuan yang di rancangkan tidak menjadi kenyataan? Aku buang segala fikiran itu jauh-jauh. Berfikir secara positif dan logik  adalah hal yang terbaik ketika waktu-waktu begini. Tiba-tiba saja Hp ku berbunyi mematikan  lamunan yang sedang memuncak. SMS darinya.

“Maaf aku terlambat sedikit. Bus yang aku naiki ada masalah. Harap kamu tak marah. Dalam jam 8.00, aku sampai”. LIZA. Ringkas dan penuh dengan makna. Aku menggeleng-geleng kan kepala. Tanda kecewa. Aku coba untuk menahan rasa kecewa yang kian menebal. Aku baca kembali isi SMS yang dia kirim pada ku minggu lalu. Liza memohon-mohon meminta aku untuk datang menemuinya di Kuala Lumpur dan bertemu di Restoran MacDonalds, segera. Katanya ada ‘perkara besar’ yang ingin dia bicarakan. Dan hari ini adalah harinya. Aku tidak ingin memikirkan ‘perkara besar’ yang ingin dia sampaikan nanti.  Cuma aku kian kecewa dengan sikap Liza. Jam menunjukkan 7.30 petang. Aku segera keluar bergegas keluar mencari Masjid untuk Melaksanakan perintahNYA, tunduk mengagungkan kebesaran dan kehebatanNYA. Aku terasa tenang dan damai jauh di pelusuk hati. Aku benar-benar merasakan nikmatNYA.

            Selesai solat, aku berdoa memohon di beri kecekalan jiwa agar dapat menghadapi hidup yang serba rumit ini. Berharap juga agar pertemuan ini menjadi realiti dan semuanya lancar dengan izin maha Esa. Selesai berdoa, aku kembali ke MacDonalds menantikan Liza. Aku segera teringat kembali kisah silam kami berdua. Bagaimana kami kenal, bagaimana kami menjadi kawan baik dan akhirnya aku sendiri jatuh cinta pada Liza. Bagaimana Liza menolak niat hati ku yang murni. Segalanya berputar bagai lembayung. Aku terluka dengan penolakkan Liza terhadap niat suciku. Lebih parah bila mengetahui hatinya kini milik seseorang. Menyembuhkan luka yang tampak oleh mata mungkin terlalu mudah. Tapi untuk menyembuh luka di dalam hati memanglah sulit. Dan itu adalah fakta. Fakta yang tidak mungkin di padamkan kebenarannya. Kenyataannya, aku tidak pernah sembuh dari kelukaan tersebut. Aku mengakui bahwa aku masih punya perasaan sayang pada Liza. Liza menyadari atau tidak, aku tidak tahu pasti. Aku hanya memiliki bayang-bayangnya. Tidak pernah sekalipun mampu memiliki hatinya. Sampai aku juga berharap agar ada keajaiban muncul dalam hubungan kami. Tapi aku sadar segalanya adalah mustahil. Keajaiban itu hanya milik maha Esa. Aku sadar hal itu. Liza hanya menganggap aku seorang kawan baiknya. Dan itulah seringkali diucapkan ketika sms atau inbox lewat FB. Segalanya tetap sama hingga kini. Dan aku tidak akan sesekali melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh Liza. Walaupun, batasan itu membuatkan aku derita.

            “Lama ya nunggunya?”. Aku terkejut dengan sapaan tersebut. Sekaligus mematikan lamunan. Liza tersenyum memandang kearah ku. Liza duduk di depan ku tanpa di suruh.

  8.00-9.00 MALAM           
            Hujan tetap belum berhenti. Seperti perasaan aku ketika ini. Cuaca bertambah dingin di luar. Para pelanggan satu demi satu meninggalkan restoran. Beberapa meja kelihatan kosong. Di tingkat atas, di mana aku dan Liza berada, Cuma kelihatan  sepasang pasangan Cina yang sedang enak menikmati hidangan yang di pesan. Aku terdiam. Begitu juga Liza. Mungkin perasaan gemetar masih membaluti perasaan.

            “ Bagaimana perjalanannya tadi?” tanya Liza. Suasana sunyi mulai berakhir.

            “Lumayan asik. Mungkin karena aku sudah lama nggak naik bus, aku menikmati setiap perjalan tadi”. Ujar ku. Aku melontarkan senyuman.

            “ Maaf telat  tadi. Busnya bermasalah. Sebenarnya aku mau beritahu lebih awal, tapi aku lupa. Maaf ya?”  Liza memberi penjelasan. Ada raut kekesalan di wajahnya.

            “ Tak apa, semua itu bukan kemauan kamu kok. Lagipula kejadiannya juga sudah lewatkan?” Aku coba menggembirakan hatinya. Ternyata aku berhasil. Wajahnya beransur-ansur ceria. Senyumannya pun mulai terukir di bibirnya yang mungil.

            “ Aku tau, kamu nggak akan ambil hati gara-gara hal sepele seperti ini. Itu sebabnya aku senang berteman dengan kamu”, ujar Liza.

            “Jadi, apa perkara besar yang akan kamu bicarakan padaku?”. Aku menatap ke arah Liza. Dia tenang dengan pertanyaan ku. Setenang bulan yang bersinar di malam hari.

            “ Habiskan dulu makanannya. Aku mau mengajakmu pergi ke suatu tempat. Mungkin kita bisa berbicara disana. Tempat ini tidak cocok untuk perkara seperti ini. Dengan tiba-tiba Liza berkata seperti itu. Seraya seperti diperintah aku pun segera menghabiskan makanan yang masih bersisa.

            “Mau kemana kita?”. Tanya ku. Liza hanya berdiam diri dan menghabiskan makanannya. Reaksi Liza itu membuatku tertanya-tanya.

10.00 MALAM- 6.00 PAGI  
Hujan pun reda, angin laut berhembus terasa dingin. Aku tertegun melihat keindahan pantai di malam hari. Cahaya dari tongkang-tongkang kecil milik nelayan berkelip-kelip. Seperti kunang-kunang yang menari-nari di dalam hutan. Aku menikmati keindahan ciptaanNYA dengan rasa syukur dan takjub. Pandanganku beralih kepada Liza yang berada di sebelah. Ternyata dia juga menikmati keindahan yang sama seperti mana aku menikmatinya.

            “ Hidup ini tidak semudah yang kita bayangkan, betul?”. Liza membuka bicaranya. Sambil matanya tidak lepas-lepas memandang ke arah tongkang-togkang kecil di tengah laut. Pembicaraan Liza membuatku tersentak dari lamunan.

            “ Itulah kehidupan. Tidak ada yang mudah dalam kehidupan ini. Hidup ini adalah perkataan antara realiti dan fantasi. Dan realiti sentiasa melingkari hidup lebih dari fantasi, walaupun ada kalanya fantasi itu indah untuk difikirkan,” aku menjawab dengan tenang. Jawaban yang tidak disangka-sangka itu segera menyentap Liza. Dia berpaling kearahku. Tersenyum.

            “ Sejak kapan kamu pandai berfalsafah tentang kehidupan ini?”. Liza menampakkan rasa kurang senang dengan jawaban aku tadi.

            “itu bukan falsafah. Tapi hakikat kehidupan yang mesti di tempuh oleh setiap manusia,” ujar ku. Liza terdiam dengan kata-kata tersebut. Raut wajahnya seolah-olah mengakui kebenaran kata-kata yang terucap dari bibirku.

            “Kamu lihat disana”, tanganku segera menuding ke arah tongkang-tongkang nelayan yang sibuk mencari rezeki di dalam kepekatan malam.

            “Mereka juga memiliki impian untuk hidup dalam kesenangan. Impian yang serupa seperti orang lain”. Aku berhenti seraya memandang Liza. Liza kelihatan memberi perhatian pada ucapan ku. Dia agak terganggu dengan pandangan ku.

            “Teruskan kata-kata kamu itu. Aku heran kenapa kamu bersikap skeptikal malam ini?. Kamu bukan seperti Rezki yang aku kenal selama ini” Ujar Liza. Dia agak heran dengan sikap ku itu.

            “Mereka memiliki impian dan fantasi sendiri. Mau hidup mewah, ada kemauan besar. Tapi itu cuma impian dan fantasi yang tidak mungkin dapat digapai oleh mereka. Dan realitinya, mereka terpaksa menyabung nyawa, mencari penghidupan yang sempurna di mata mereka. Seperti mana sekarang. Aku mengakhiri kataku yang agak panjang.

            “Jadi maksudnya, setiap manusia itu mempunyai cita-cita dan impian seperti yang pernah mereka fantasikan atau fikirkan. Pada akhirnya, kita terpaksa berpijak pada kenyataan walaupun ia tidak seindah dan semanis yang kita sangka. Betul?”. Liza coba metafsir makna dari kata-kata ku. Aku tersenyum, begitu juga Liza.

            Angin dari laut terus menerus bertiup lembut di pantai ini. Pantai ini mungkin memberi harapan kepada para penduduknya yang rata-ratanya adalah nelayan. Harapan dalam segala bentuk. Harapan untuk memajukan kehidupan mereka. Harapan agar generasi setelah mereka dapat menyambung perjuangan mereka dalam mencari rezeki di pantai ini. Harapan kepada masyarakat agar menghargai keindahan pantai ini dengan sebaik mungkin. Aku berfikir sendirian. Karena itu jugalah pantai ini dinamakan Pantai Harapan. Mungkin juga. Siapa tahu. Liza kelihatan senang bermain dengan air. Lakunya itu membuat aku ketawa kecil. Masih saja kekanak-kanakan. Tidak sepadan dengan usianya yang semakin matang. Aku bersantai dipasir, tidak jauh dari tempat Liza bermain. Aku segera mendekatinya. Rembulan yang tadi pucat di balik awan, kini bersinar megah menemani malam yang kian tua.

            “ Ada masanya kita perlu menjadi kekanak-kanakan dalam sesuatu hal. Barulah hidup ini akan lebih berarti”. Ujar Liza setelah menyadari kehadiran ku. Mungkin juga dia dapat membaca apa yang terlintas di hatiku tentang dirinya itu. Aku tersenyum dengan kata-katanya.

            Aku berjalan menyusuri sepanjang pantai.beriringan dengan Liza. Dia kelihatan ceria sesekali dia bercerita tentang kenangan kita dulu. Membuat rembulan makin tersenyum di balik awan. Setelah penat menyusuri pantai, kami beristirahat dipasir. Saat ini pula aku bertanya kepada Liza.

            “Jadi apa perkara besar yang ingin kamu beritahu padaku?”. Tiba-tiba Liza menatap wajahku. Lama dia terdiam.

            “Aku akan bertunangan minggu depan”. Tutur Liza. Aku tersentak dengan kata-kata Liza. Tapi aku coba menenangkan perasaan. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

            “Cuma itu saja? Tidaklah sangat besar. Aku gembira mendengarkannya”. Aku tersenyum. Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba tersenyum mendengarkan berita itu, sedangkan hati ini benar-benar terluka dengan kabar tersebut. Seketika aku tertunduk lesu. Memejamkan mata. Memaksa diri menerima kenyataan bahwa penantianku selama ini adalah sia-sia.

            “ Ada yang lebih besar dari itu yang ingin aku bicarakan”. Ujar Liza. Aku Cuma mendiamkan diri.

            “Aku tahu, kamu masih ada perasaan pada ku bukan?”. Liza segera mengalihkan pandangannya pada ku. Aku tersentak dengan pertanyaan yang tidak di duga itu.

            “Bertepuk sebelah tangan tidak mungkin dapat ku sangkal. Mungkin memang benar, aku cuma berharap pada yang tidak pasti. Aku sadar hal itu.” Aku membalas kata-kata Liza.

            “Kalau kamu sadar, kenapa masih berharap lagi?”. Pertanyaan Liza makin menyempitkan perasaan ku seketika ini.
            “Aku percaya bahwa pasti ada keajaiban di suatu hari nanti. Tuhan pasti akan menolong aku”. Ujar ku penuh keyakinan. Liza hampir menangis mendengar pernyataan  itu. Aku tahu dia terlalu kecewa dengan pernyataan tersebut. Dia terdiam. Kehilangan kata-kata.

            “Aku cuma anggap kamu sebagai teman baik ku saja. Tidak lebih dari itu. Dan itu yang pernah aku katakan dulu. Kenyataannya tidak pernah berubah”. Ada kesayuan dalam nada suaranya. Aku mendengarnya dengan tenang.

            “Maaf…Aku terpaksa melukai hati kamu kali ini. Hati ini bukan milik kamu. Harap kamu memahaminya.” Liza menyambung kata-katanya. Membuat aku bertambah luka. Hati kecil ku kini menangis mendengar pernyataan Liza. Aku coba menguatkan perasaan yang semakin sayu.

            “ Tidak apa, aku ngerti. Itu kata hati kamu. Aku doakan yang terbaik buat kamu.”. Aku melepaskan senyuman pada Liza. Sambil membujuk hati menerima rasa kecewa yang makin berombak-ombak di jiwa.

            “ Terima kasih. Aku sentiasa berharap kamu akan bertemu dengan seorang wanita idaman kamu. Suatu hari nanti.”  Liza tersenyum.

            “ Aku benar-benar berharap agar kamu dapat lupakan aku. Kita lebih sesuai untuk menjadi teman. Itu harapan ku.” Ujar Liza dengan penuh pengharapan. Aku diam membisu. Saat ini tidak ada kata yg bisa ku ucapkan. Rasa pilu dan kecewa memenuhi segenap jiwa.

            “ Kamu pernah dengar cerita Pungguk rindukan bulan?”. Aku bertanya pada Liza. Liza kelihatan tertawa kecil. Dia segera mengangguk-anggukkan kepalanya.

            “Pernah. Ki, kisah Pungguk itu cuma dongengan. Hanya cerita karut yang dibuat-buat. Mana mungkin Pungguk memiliki si Bulan yang jauh tinggi di awan. Jangan bilang kalau kamu percaya dengan cerita begituan”. Ucap Liza padaku. Aku tersenyum dengan kata-kata Liza.

            “Cerita itu cuma punya makna tersirat. Cerita yang punyai kiasan. Kisah seorang lelaki yang setia menanti wanita yang disayanginya kembali. Kembali menerima cintanya, walaupun dia sadar dia tidak mungkin memiliki hati wanita itu. Bukan cuma cerita belaka. Cerita tentang kesetiaan dan cinta suci seorang lelaki. Dongeng yang indah bukan?”. Ujar ku. Wajah Liza berubah dengan tiba-tiba.

            “Ki. Tolong jangan ungkit-ungkit kembali masalah kita. Keputusan aku tidak mungkin berubah. Paham?”. Nada suara Liza mula berubah warna. Ada ketegasan dalam nadanya. Matanya merah menahan marah yang tiba-tiba meluap. Aku kembali terdiam.

            Bulan semakin pucat di balik awan. Suasana di pantai kelihatan sunyi. Sesekali terdengar desiran ombak memukul pantai. Tongkang-tongkang nelayan sudah tidak lagi kelihatan. Mungkin para nelayan-nelayan itu telah kembali ke tepi membawa pulang rezeki masing-masing. Liza Cuma mendiamkan diri melihat pantai yang kosong dan sepi. Aku turut sama memerhatikan pantai yang kosong dan luas. Seperti kosongnya perasaan aku ketika ini.

            “Ki, coba belajar untuk lupakan aku, bisa?. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kamu, tapi itu yang terbaik buat diri kamu. Waktu akan membuat kamu lupa pada ku. Janji pada ku, bisa?. Janji lupakan niat kamu untuk memiliki aku.”. Liza merayu. Saat ini tangannya erat menggengam tanganku. Aku terkesima. Mulutku terkunci rapat. Kehangatan jari-jemarinya benar-benar membuatkan aku tiba-tiba kaget. Kaget dengan permintaan Liza yang sudah pasti susah untuk  aku lakukan. Hati ku makin sesak merasakan eratnya genggaman tangan Liza. Tangan yang tidak mungkin dapat di kucup mesra atau digenggam erat seperti mana yang sering aku mimpikan dalam mimpi-mimpi tidurku selama ini. Pasti ini adalah pertemuan terakhir dengannya. Aku tertunduk lesu. Saat ini, segala kata tidak lagi bermakna. Jiwa kian duka  tersungkur di pintu kasih. Aku cuma mengangguk lemah tanda setuju.

            “Harap kamu akan melaksanakan janji-janji itu.” Liza menampakkan senyuman. Secantik mawar yang berkembang di pagi hari.

            “Kita akan tetap jadi sahabat selamanya, Ki. Itu janji aku”. Sambung Liza. Saat ini aku berpaling merenungnya. Berfikir, mencari kebenaran kata-katanya. Apakah mungkin seorang wanita sepertinya. Yang hatinya bakal dimiliki oleh lelaki idaman hati, mampu menjadi sahabat kepada ku. Kesangsian mulai hadir di hati. Apakah kata-kata Liza sekadar bujukan untuk membaluti hati yang kian luka? Atau kata-kata itu lahir dari hatinya yang benar-benar tulus ikhlas sebagai sahabat. Semua itu menjengah fikiran ku ketika ini.

            Bulan kembali bersinar terang. Meloloskan diri dari kepungan sang awan. Terang cahayanya tidak juga mampu menerangi jiwa yang kosong dan hampa ini. Kedinginan malam kian terasa. Menghambat segala saraf. Aku masih lagi membisu.

            “Ki, aku ingin kamu jadi seperti sang bulan itu”. Suara Liza mengejutkan aku. Lantas tangannya ditudingkan ke arah bulan yang memancar megah.

            “Bulan memancarkan sinarnya demi menemani malam yang penuh kegelapan. Mewarnai lukisan kehidupan semesta. Begitu juga sahabat. Sentiasa di sisi ketika di perlukan. Itulah kamu Ki….”. Ujar Liza sambil senyuman terukir di bibir. Pandangannya segera beralih kearah bulan. Aku segera menengadah ke langit memandang bulan yang megah bersinar dilangit.

“Aku lebih suka jadi matahari”. Ujarku gurau. Aku tersenyum. Liza turut tersenyum.

            “Apa bedanya?. Dua-duanya sama. Menyinari alam ini. Bukankah itu sifat sahabat”. Liza memberi pendapatnya.  Kami tertawa bersama. Walaupun kecewa dengan kata-kata Liza, tapi itulah kenyataan yang pahit untuk diterima oleh hati.  Terkadang melepaskan sesuatu yang kita miliki adalah sesuatu perkara yang sulit. Namun, ada kalanya lebih baik melepaskan apa yang kita miliki karena tidak semua yang kita miliki itu indah. Aku tiba-tiba bermonolog dengan hatiku sendiri. Aku dan Liza berjalan menuju ke pemberhentian bus meninggalkan pantai Harapan yang semakin damai menanti sang pagi menunjukkan wajah.

“Ya, inilah jalanku, jalan hidupku. Akhir dari semua penantianku selama ini. Semua hanyalah sebatas mimpi yang tak akan menjadi nyata dalam hidupku…”
Backsound >> Nano – Sebatas Mimpi








ref:Judithtarra

0 komentar:

Posting Komentar